Unicorns Under Siege: Are We Building Castles on Sand?
Fajar Fitrianto, MBA, CFA, FRM
Senior Vice President | Project Management | Corporate & International Banking | CFA Charterholder | FRM Certified
Unicorns were meant to symbolize magic—rare creatures of extraordinary value. But in Indonesia’s startup ecosystem, the myth has turned sour. Behind billion-dollar valuations and dazzling press releases lies a more unsettling reality: some of our most celebrated startups are collapsing under the weight of their own ambition.
eFishery, KoinWorks, Investree—these names once heralded a golden era of innovation but are now cautionary tales of governance failures, regulatory backlash, and unbridled risk-taking. The question is no longer whether the unicorn model works—it’s whether we’ve been building an entire ecosystem on the unstable sands of Tech-Driven Hypercapitalism, a system where speed and scale are worshipped at the altar of disruption, leaving accountability and sustainability in the dust.
These events are hardly unique. We’ve seen similar collapses before—during the dot-com bubble, when companies chased sky-high valuations with no clear path to profitability, and the Enron scandal, where financial misrepresentation destroyed one of the world’s most celebrated corporations. And yet, despite these cautionary tales, history repeats itself. Are we doomed to learn these lessons the hard way, again and again?
Hypercapitalism: Growth at All Costs
Hypercapitalism is defined by a relentless pursuit of scale, speed, and disruption, where success hinges on metrics that glorify hypergrowth. Ratios like Customer Acquisition Cost (CAC) and Lifetime Value (LTV) to CAC Ratio push startups to spend aggressively on acquiring users, often assuming loyalty and profitability that never materialize. Similarly, burn rate becomes a celebrated signal of ambition, despite reflecting unsustainable financial health. Metrics like Gross Merchandise Value (GMV) and Monthly Active Users (MAU) amplify this behavior by valuing activity over substance, encouraging rapid expansion at any cost.
This obsession with growth incentivizes risky decisions. eFishery pursued rapid scaling to secure its valuation but neglected governance, leading to mismanagement allegations. KoinWorks prioritized user acquisition, only to face lending fraud and high defaults. Meanwhile, Investree saw its TKB90 ratio—loans overdue for more than 90 days—soar past acceptable thresholds, triggering regulatory penalties and a loss of trust.
These dynamics mirror the dot-com bubble, where startups focused on market share and user acquisition at the expense of fundamentals. Companies like Pets.com went public with flashy growth stories, only to collapse when the market realized their business models were unsustainable. Similarly, the Enron scandal serves as a stark reminder of what happens when organizations prioritize short-term gains and financial engineering over transparency and accountability.
By prioritizing vanity metrics over sustainability, today’s startups risk repeating these mistakes. Like castles built on sand, they collapse under scrutiny, leaving behind a cautionary tale for an ecosystem that prizes spectacle over substance.
A Smarter Path to Success
While Indonesia’s startup scene idolizes speed and disruption, other regions offer a different playbook. In Europe, startups tend to prioritize trust, governance, and sustainability. Zalando, for instance, built its empire not through reckless expansion but through deliberate, steady growth, integrating ESG (Environmental, Social, Governance) principles into its strategy. This patient approach enabled the company to withstand market fluctuations and build long-term resilience.
Similarly, Japan’s startup ecosystem emphasizes longevity and incremental improvement. Guided by the philosophy of Kaizen, startups like Mercari focus on loyalty-driven scaling and gradual innovation. Mercari took nearly a decade to reach unicorn status, yet its methodical growth created a trusted and resilient brand.
These examples highlight a critical insight: slow doesn’t mean stagnant—it means stable. By blending innovation with mindful scaling, startups can create a lasting impact without compromising their foundations.
Conscious Capitalism: Building Castles on Rock
A potential antidote to the fragility of Hypercapitalism lies in Conscious Capitalism, a philosophy that redefines success by balancing profit with purpose, people, and sustainability. Unlike traditional capitalism, conscious capitalism challenges businesses to pursue higher missions that benefit all stakeholders—employees, customers, communities, and investors alike.
The model rests on four pillars:
Adopting these principles could redefine Indonesia’s startup landscape, shifting the focus from short-term valuations to long-term resilience. Conscious Capitalism doesn’t mean abandoning ambition—it means pursuing success with integrity and sustainability at the core.
Reimagining Indonesia’s Startup Ecosystem
The scandals we’re witnessing are not isolated incidents; they’re symptoms of a system that prizes speed over substance. It’s time to rethink what success looks like.
Imagine if Indonesia developed a Startup Code of Ethics—a framework that combines the principles of conscious capitalism, global best practices, and local values. This could redefine what it means to be a unicorn, emphasizing purpose over profit and substance over spectacle.
Rebuilding on Rock, Not Sand
The castles of Hypercapitalism are crumbling, but this moment isn’t the end—it’s an invitation to rebuild. By embracing conscious leadership, sustainable practices, and a purpose-driven ethos, Indonesia’s startups can evolve into enduring changemakers.
The scandals of today aren’t just failures; they’re echoes of past mistakes—the dot-com bubble, Enron, and countless others. The question now is: will we continue building castles on sand, or will we seize this opportunity to lay foundations on rock?
The next chapter isn’t written yet. It’s up to us to decide what it will say.
领英推荐
Retaknya Mitos Keajaiban Unicorn
Unicorn, simbol keajaiban dan keberhasilan bisnis bernilai miliaran dolar, kini berubah menjadi kisah kegagalan yang pahit. Di ekosistem startup Indonesia, mitos keajaiban unicorn ini mulai retak. Di balik valuasi fantastis dan narasi pertumbuhan yang gemilang, beberapa nama besar seperti eFishery, KoinWorks, dan Investree justru tumbang di tengah ambisi besar mereka.
Unicorn-unicorn ini dulunya dielu-elukan sebagai pelopor inovasi. Namun kini, mereka menjadi pelajaran pahit tentang kegagalan tata kelola, risiko yang tak terkendali, dan obsesi terhadap pertumbuhan cepat. Apakah ini pertanda bahwa kita sedang membangun ekosistem di atas landasan yang rapuh—mengabaikan keberlanjutan dan integritas demi mengejar kecepatan dan skala?
Kita pernah melihat hal serupa sebelumnya: gelembung dot-com, di mana perusahaan teknologi berlomba-lomba menarik perhatian investor tanpa model bisnis yang jelas, hingga skandal Enron, yang memperlihatkan bagaimana manipulasi keuangan bisa menghancurkan raksasa korporasi. Namun, meskipun pelajaran ini sudah berulang kali muncul, sejarah tampaknya terus terulang.
Kapitalisme Instan: Obsesi Pertumbuhan Tanpa Kendali
Kita hidup di era Kapitalisme Instan, di mana pertumbuhan cepat menjadi dewa, sementara keberlanjutan dan tata kelola sering diabaikan. Dalam sistem ini, keberhasilan diukur dengan seberapa cepat perusahaan dapat mendominasi pasar—tanpa peduli apakah fondasinya cukup kuat untuk bertahan dalam jangka panjang.
Rasio seperti Customer Acquisition Cost (CAC) dan Gross Merchandise Value (GMV) digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan, tetapi sering kali menyembunyikan risiko besar di baliknya. Burn rate—seberapa cepat perusahaan membakar uang investor—bahkan dirayakan sebagai tanda ambisi, meskipun sering kali menandakan keuangan yang tidak berkelanjutan.
Dampaknya? eFishery tumbuh terlalu cepat demi mengejar valuasi tinggi tetapi mengabaikan tata kelola internal, yang memunculkan tuduhan salah urus. KoinWorks memprioritaskan pertumbuhan jumlah pengguna, hanya untuk menghadapi masalah penipuan dalam pemberian pinjaman. Sementara itu, Investree fokus pada volume pinjaman, hingga akhirnya membiarkan rasio TKB90—pinjaman macet lebih dari 90 hari—melewati ambang batas yang dapat diterima, yang berujung pada sanksi regulasi.
Kasus-kasus ini mengingatkan kita pada gelembung dot-com, di mana perusahaan seperti Pets.com menarik perhatian publik dengan narasi pertumbuhan yang gemerlap, hanya untuk runtuh ketika pasar menyadari model bisnis mereka tidak berkelanjutan. Sama halnya, skandal Enron menjadi pengingat tragis akan apa yang terjadi ketika keuntungan jangka pendek lebih diutamakan daripada transparansi dan akuntabilitas.
Pelan Tapi Pasti, Kuat Tanpa Goyah
Sementara ekosistem startup Indonesia memuja kecepatan dan disrupsi, kawasan lain menunjukkan pendekatan yang berbeda. Di Eropa, startup seperti Zalando membangun bisnis mereka dengan pertumbuhan yang terukur, fokus pada kepercayaan pelanggan, tata kelola yang baik, dan penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance).
Di sisi lain, Jepang mengandalkan filosofi Kaizen—perbaikan kecil yang berkelanjutan. Contohnya, Mercari, sebuah marketplace barang bekas, membutuhkan hampir satu dekade untuk mencapai status unicorn. Namun, pendekatan yang hati-hati ini memungkinkan Mercari membangun merek yang kuat dan dipercaya pelanggan.
Pelajaran utamanya jelas: pertumbuhan yang lambat bukan berarti stagnan, tetapi bertumpu pada fondasi yang kokoh untuk masa depan.
Kapitalisme Berkelanjutan: Dari Ilusi Pertumbuhan ke Dampak yang Nyata
Solusi atas rapuhnya Kapitalisme Instan terletak pada konsep Kapitalisme Berkelanjutan. Filosofi ini mengajarkan bahwa pertumbuhan tidak hanya soal kecepatan, tetapi juga soal menciptakan dampak yang bertahan lama bagi seluruh pemangku kepentingan.
Kapitalisme Berkelanjutan memiliki empat prinsip utama:
Dengan menerapkan prinsip ini, startup Indonesia dapat mendefinisikan ulang kesuksesan—bukan sekadar mengejar valuasi tinggi, tetapi menciptakan fondasi yang kokoh untuk masa depan.
Menata Ulang Jalan Startup
Skandal yang kita saksikan hari ini bukan sekadar insiden terisolasi; ini adalah gejala dari sistem yang mengutamakan kecepatan daripada substansi. Sudah waktunya untuk mendefinisikan ulang arti kesuksesan.
Bayangkan sebuah Kode Etik Startup Indonesia, yang menggabungkan praktik terbaik global dengan nilai-nilai lokal. Ini bisa mendefinisikan ulang arti menjadi unicorn—mengutamakan tujuan yang lebih bermakna daripada sekadar angka.
Bukan Lagi di Atas Pasir: Saatnya Berdiri Tegak
Istana Kapitalisme Instan memang sedang runtuh, tetapi ini bukan akhir—melainkan momentum untuk menata ulang ekosistem. Dengan mempraktikkan kepemimpinan berkelanjutan, harmoni kepentingan, dan tujuan yang lebih bermakna, startup Indonesia dapat berkembang menjadi pelopor perubahan yang bertahan lama.
Kesalahan masa lalu—dari gelembung dot-com hingga skandal hari ini—tidak harus mendefinisikan masa depan. Saatnya meninggalkan istana di atas pasir dan membangun ekosistem yang berdiri tegak di atas fondasi yang kokoh.
Senior Vice President | Project Management | Corporate & International Banking | CFA Charterholder | FRM Certified
1 个月Another victim has fallen